Penyiar

Penyiar RadioBermodal Hobi Ngobrol dan Bakat Menghibur

Bersiaran dapat menjadi sebuah kenikmatan tersendiri bagi sebagian besar penyiar radio. Karena terlalu menikmatinya, mereka bahkan sering tak merasa telah berjam-jam mengudara. Akhirnya aktivitas siaran tak lagi menjadi sebuah tuntutan profesi, namun sudah menjadi suatu apresiasi hobi dan bakat.Hobi dan bakat memang tak dapat dilepaskan dari profesi cuap-cuap di udara ini. Menurut Bambang Mulyadi Wicaksono, penyiar radio Dakta Bekasi, penyiar radio biasanya orang-orang yang memiliki hobi ngobrol. Hobi tersebut dibutuhkan karena para penyiar radio dituntut untuk mampu berkomunikasi secara aktif. Bakat menghibur juga mesti dimiliki oleh seseorang yang ingin menjadi penyiar radio. Bakat itu diperlukan karena profesi penyiar radio dituntut mampu menghibur hati para pendengar radio. ''Citra industri radio itu identik dengan industri hiburan. Karena itu seorang penyiar radio mesti memiliki bakat entertain agar mampu memberi hiburan kepada pendengarnya,'' jelas Azhar Awaludin, penyiar radio Bens.Karena itu, ucap Bambang menambahkan, seorang penyiar radio hampir sama dengan artis. Pada kondisi apa pun, mereka harus mampu tampil fresh dalam memberikan keceriaan di telinga pendengar radio. ''Meskipun sedang sedih, selama jam siaran penyiar radio mesti mampu membalikkan kesedihan menjadi kegembiraan yang didengarkan kepada pendengar. Karena itu penyiar radio mesti mampu berakting seperti artis,'' ungkap Bambang yang bergabung dengan Dakta sejak 1994.Kekhasan karakter suara juga menjadi modal yang perlu dipersiapkan oleh calon penyiar radio. Modal ini sudah pasti dibutuhkan karena profesi penyiar radio tak lepas dari segala sesuatu yang berhubungan dengan suara. ''Dan setiap radio biasanya memiliki ciri karakter suara masing-masing. Seperti Bens radio yang penyiar radionya memiliki karakter suara nyablak,'' ujar Azhar yang sempat mengenyam pendidikan di IKIP Jakarta.Pendidikan formal tetap menjadi faktor penting yang perlu dipersiapkan oleh calon penyiar radio. Sekarang ini sejumlah perguruan tinggi sudah membuka jurusan broadcasting. ''Seperti di Unpad Bandung, ada jurusan D-3 kepenyiaran,'' kata Bambang yang jebolan Universitas Indonesia. Pendapat senada diungkapkanoleh Azhar yang bergabung dengan Bens Radio sejak 1,5 tahun lalu. Menurut lelaki usia 39 tahun ini, untuk menjadi penyiar radio, seseorang sebenarnya dapat menempuh jalur pendidikan apa saja. Karena, pada intinya pendidikan formal dibutuhkan untuk memperluas cakrawala pengetahuan penyiar radio.Penyiar radio memang harus memiliki pengetahuan yang luas. Pasalnya, seorang penyiar radio terkadang berhadapan dengan situasi yang tak terduga. ''Dalam sebuah siaran interaktif, pendengar radio terkadang memberi pertanyaan di luar topik. Karena itu kalau penyiar radio tak memiliki pengetahuan luas, situasi tersebut dapat menjadi bumerang,'' cetus Bambang.Bambang menambahkan, seorang penyiar radio juga perlu memiliki penampilan yang cukup menarik. Karena, selain bertugas siaran di dalam studio siaran, penyiar radio terkadang bertugas sebagai reporter yang harus mencari berita ke luar kantor sekaligus menyiarkannya secara langsung lewat telepon genggam. Karena berinteraksi dengan aktivitas di luar kantor, lanjut Bambang, penampilan penyiar radio perlu juga diperhatikan untuk menjaga citra perusahaan. Profesi penyiar radio tak hanya memberi kenikmatan tersendiri bagi para pelakonnya. Pendapatan yang diperoleh penyiar radio juga menyenangkan. Azhar mengatakan, ada dua sistem penggajian yang diberlakukan kepada penyiar radio, yakni sistem full time dan part time.Pada sistem full time (kerja penuh), gaji penyiar radio dibayar dalam hitungan bulan. Dalam sebulan penyiar radio rata-rata memperoleh penghasilan sekitar Rp 1.000.000 hingga Rp 2.000.000. Sementara itu sistem part time (paruh waktu), bayaran seorang penyiar radio dihitung dalam hitungan jam. ''Bayaran terendah per jam itu dapat mencapai sekitar Rp 5.000 hingga Rp 6.000. Sementara itu bayaran tertinggi per jam yang pernah saya dengar ada yang mencapai sekitar Rp 25 ribu per jam,'' imbuh Azhar. ''Namun secara umum, sistem penggajian sangat tergantung pada kebijakan perusahaan masing-masing.'' dip ( )

Farhan-Indy: Menjajakan Imajinasi Lewat Suara

BAGI sebagian besar warga Jakarta, menyetel radio dalam perjalanan ke sekolah atau tempat kerja sudah menjadi gaya hidup. Suara yang keluar dari radio bisa menghilangkan kejengkelan akibat kemacetan lalu lintas, atau justru menegangkan ketika penyiar melaporkan adanya kenaikan harga sembako, tingginya berbagai pajak, atau pertentangan tajam antara para elite politik.
Pada pagi hari, beberapa stasiun radio memilih mengudarakan soal politik dan ekonomi yang dianggap menjadi perhatian paling banyak warga Ibu Kota. Sebagian pelaku politik dan ekonomi bahkan diwawancara langsung lewat telepon untuk menghadirkan informasi terakhir bagi pendengar radio. Meski narasumber serius, pendengar bisa tertawa, karena yang mereka ucapkan sering tak sesuai kenyataan.
Salah satu stasiun radio yang tak menghadirkan soal politik dan ekonomi pada pagi hari adalah 87.60 Hard Rock FM Jakarta. Lewat acara Good Morning Hard Rockers, setiap Senin sampai Jumat, pukul 06.00-10.00, Anda bisa mendengar suara Muhammad Farhan dan Indy Barens yang membicarakan soal-soal "sepele" dengan gaya cengengesan. Tema yang diangkat setiap hari berbeda-beda, mulai dari soal sopir sampai tentang penggunaan segala macam barang yang berkaitan dengan hubungan intim.
Farhan dan Indy biasanya hanya mengantarkan tema pagi itu, informasi selebihnya diserahkan pada para pendengar yang suaranya mengudara lewat telepon. Soal sopir misalnya, ada banyak informasi. Ada pendengar yang kesal karena sopirnya tak tahu diri meski sudah diberi gaji besar dan alat komunikasi, ada yang terpaksa memecat si sopir karena tak tahan bau badannya. Pendengar lainnya bercerita, teman prianya tak menghendaki si sopir karena pengemudinya itu lebih ganteng, lebih perlente, dan lebih diminati para cewek daripada dirinya.
Meski soal gaya hidup dan hiburan lebih diutamakan, menurut Farhan (31), tak berarti mereka tak peka terhadap isu terbaru. Soal politik dan ekonomi belakangan ini tak diudarakan karena memang tak ada yang "baru".
"Ketika terjadi tragedi Trisakti dan Semanggi, rencananya kita mau omong soal seks, ya langsung diganti topiknya dengan tragedi, karena itulah isu terbaru yang menjadi perhatian semua orang," ujar Farhan yang bergabung dengan Hard Rock FM Jakarta sejak 1999.
Indy Barens (29) yang sejak sekitar empat tahun lalu menjadi penyiar Good Morning Hard Rockers menambahkan, selain mengangkat tema, seperti umumnya stasiun radio swasta lainnya, para pendengar bisa saling berbagi informasi dari soal kemacetan lalu lintas, sulitnya mendapat solar, mengucapkan selamat ulang tahun, keluhan, sampai curhat.
***
KALAU lewat radio, pendengar hanya mengenal suara serak Indy dan ngotot-nya Farhan, lewat tayangan di layar kaca, pemirsa televisi di Indonesia melihat sosok mereka. Setidaknya sekali dalam seminggu Farhan dan Indy masing-masing tampil sebagai pembawa acara untuk program yang berbeda. Farhan sejak Februari 1999 menjadi pembawa acara variety show Pesta, dan Indy dalam perbincangan berjudul Talk Life (mulai sekitar 1998), keduanya di Indosiar.
"Televisi itu audiensnya se-Indonesia. Kalau radio, ya, se-Jabotabek-lah. Televisi bisa jadi etalase, tetapi loyalitas tetap pada pendengar radio. Makanya kita tetap happy jadi penyiar radio. Lewat sini juga kita bisa dapat job untuk dubbing iklan," kata Farhan yang bertinggi badan 1,73 meter dan berat 82 kilogram ini. Ia juga menjadi penyiar untuk acara musik jazz tiap Minggu, pukul 21.00.
Sejak menjadi mahasiswa di Bandung, Farhan sudah menjadi penyiar radio. Tahun 1995, ia ke Jakarta menjadi presenter acara Aksi di RCTI sekitar enam bulan. Ia kembali rindu menjadi penyiar dan bergabung dengan Radio Mustang.
"Oleh karena saya tahu diri bahwa umur tak lagi mengizinkan, jadi pindah ke Hard Rock. Penyiar yang umurnya ketuaan untuk audiensnya, bawaannya bukan jadi teman, tetapi kasih nasihat. Padahal buat anak muda, nasihat itu adalah hal terakhir yang ingin mereka dengar," ujar Farhan yang punya hobi mendengar radio dan menonton televisi ini.
Kalau Farhan suka omong di depan corong, Indy alias Mendya Brata yang bertinggi tubuh 1,56 meter dan berat 47 kilogram, berkhayal jadi bos di salah satu gedung tinggi Jl MH Thamrin-Sudirman. Pernah belajar soal kesekretariatan dan bisnis, Indy bekerja di bagian pemasaran Hard Rock. Ketika Good Morning Hard Rockers mencari penyiar cewek, ia mencoba, dan keterusan.
Sejak awal bicara di depan corong, Indy tampil seperti dirinya sendiri. Kebiasaan itu dibawanya ketika tes untuk pembawa acara Talk Life. Baginya, menjadi diri sendiri selain lebih mudah, juga menjadikannya punya ciri khas, tidak meniru.
"Saya perlu waktu hampir setahun supaya bisa cocok ngobrol di udara sama Farhan," kata Indy yang omongannya sulit dipotong itu.
Baik Indy maupun Farhan kini cukup populer sebagai pembawa acara. Nyaris setiap hari Jumat, Sabtu, Minggu, selalu ada order, hingga mereka menyebutnya sebagai "Hari Job Nasional".
Satu hal pasti, meski honornya lumayan, Farhan yang pernah main sinetron Ketika Cinta Harus Memilih, tak ingin lagi berakting. Alasannya, waktu shooting tak pasti, dan ini menyebabkan penghasilannya dari order yang lain berkurang.
Ini berbeda dengan penyiar radio. Menurut Farhan dan Indy, salah satu keasyikan menjadi penyiar-selain kepastian waktu-adalah bermain dengan imajinasi orang.
"Kita bisa membuat suara apa saja, omong apa saja, dan biarkan orang berimajinasi atas hal itu," kata Farhan.
Oleh karena itulah, sebagian pendengar bisa terkecoh karena Farhan-Indy menyebut efek suara tepukan dan tertawa yang menyertai obrolan mereka dengan nama Fredi. Atau menggambarkan sosok bernama Widi adalah pria yang tampan dan tinggi, lewat suara besar berwibawa. Hasilnya, banyak orang mengirim faksimile dan e-mail untuk Widi.... (cp)

2 comments

Ceritanya imuth_luthu mengatakan...

jadi kangen pingin siaran lagi.
tfs.

BRAM WIJAYA mengatakan...

wah sama kita juga penyiar salam sukses ,salam dari Bali http://bramwijaya.blogspot.com